Burung besi yang mengantarkanku telah mendarat bandara Hang Nadim kota Batam. Kucium hawa yang ramah menyambut kedatangan kami, aku dan suami. Sejurus aku menoleh ke arah luar terminal kedatangan, agak ragu untuk mengenali penjemputku karena baru sekali kami bersua, itupun kira-kira 8 tahun yang lalu. Yah, kami memang hanya bertukar kabar melalui telepon, jadi maklumlah kalau hanya suara beliau yang lebih kukenal.
Setelah mondar-mandir beberapa menit, akhirnya aku mengenali sosok yang kucari. Alhamdulillah, segera kami berhambur ke arah wanita setengah baya melepas rasa haru. Ya Allah, betapa kerinduan ini menyeruak. Mamak, begitulah kami mengakrabkan diri memanggilnya menciumi kami berdua, tak kalah haru.
Akhirnya saat pertemuan yang kami janjikan tiba, setelah mengumpulkan dana yang tak kecil untuk ukuran kami. Alhahamdulillah, janji untuk berkunjung ke Batam akhirnya kami tepati kepada almarhumah Widayuniati, putri mamak yang telah berpulang 7 tahun lalu. Akupun tak menyangka masih bisa menyambung tali silaturahmi dengan orang tua Dayu, begitu aku memanggilnya. Dayu adalah sosok sahabat yang kehadirannya selalu kami nantikan, dan setelah ketiadaannya tetap kami rindukan. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu sahabat.
Kedekatanku kami berawal justru karena ketidaksukaanku kepada etnis tertentu, yang kupikir mengalir di diri Dayu. Aku yang naif hanya menilai dari fisiknya semata. Kami satu kost ketika menimba ilmu di kota pelajar. Ternyata aku salah besar, selain tidak semua orang etnis tersebut tidak baik juga karena Dayu sama sekali bukan etnis yang kubenci.
Lambat laun persahabatan kami makin erat. Kami kerap menyusuri kaki lima Malioboro, mencari obralan di Bering Harjo, atau bahkan naik andong pulang dari Sekatenan. Dan kebanyakan Dayu yang membayar segala pengeluaran jalan-jalan karena memang aku tak mampu. Lagi pula Dayu selalu memaksaku untuk menurutinya. Dayu cukup mampu hanya semuanya tersembunyi di balik sosoknya yang sederhana, akrab dengan siapa saja dan terkenal kedermawanannya.
Aku ingat suatu pagi bapak penjual bubur mengeluh pada Dayu tidak punya cukup modal untuk berjualan keesokan harinya, tanpa ba bi bu Dayu mengangsurkan untuk dipinjamkan kepada si bapak, dengan wajah cerah bapak itu berjanji untuk membayar dengan memberi sarapan bubur tiap hari sampai lunas. Satu dua hari keseokannya memang bapak tersebut tertib, namun di hari ketiga dan selanjutnya seolah dia menghindari kost kami. Kami tahu karena pejual itu selalu lewat rute kami ke kampus, dan Dayu tahu itu namun tidak menagihnya.
Dayupun terkenal setia kawan, bahkan saat dia jatuh sakit. Tak jarang Dayu menemani kawan yang datang ke kost, dan membolos jam kuliahnya sekedar mengajak keliling kota kawan yang dari luar kota padahal ia sendiri sedang sesak napas. Aku sendiri heran dengan sikapnya. Saat kami berdua sama-sama jatuh sakit Dayu memaksa mengantarku ke kampus naik becak, hingga kawan di kampus bertanya sebenarnya siapa yang sakit.
Saat seorang kawan yang membiayai kuliah dengan meloper koran jatuh sakit, Dayu pun memaksa menggantikan tugas yang asing untuk kaum hawa tersebut. Atau suatu ketika membantu seorang kawan unutk membiayai wisudanya. Dan Dayu memang tidak menagih orang yang berhutang kepadanya. Ah Dayu, betapa banyak kebaikan yang tak bisa kuingat satu per satu.
Suatu hari Dayu harus pulang ke Batam, karena dipaksa orang tuanya untuk berobat. Memang Dayu tidak pernah memberitahu orang tuanya tentang semua sakitnya, dia tak pernah mau orang lain ikut sedih memikirkannnya. Terkadang tengah malampun aku dipanggil ke kamarnya hanya untuk menemaninya yang terkena serangan sesak napas tanpa pernah mau untuk kupijat sekedar mengurangi penderitaannya, ataupun usai subuh menggantikan menerima telepon dari orang tuanya, karena Dayu tidak mungkin bicara dengan napas terputus-putus agar tidak ketahuan.
Ah, ternyata kami telah sampai ke kompleks makam. Kami menuju sebuah makam yang terukir nama WIDAYUNIATI, tanpa tersa air mataku meleleh haru. Setelah tidak bersua selama 2 tahun. Kabar terakhir Dayu, sahabatku meninggalkan kami semua. Allah memanggilnya terlebih dahulu dalam senyum. Kebaikannya tercermin dari banyaknya pelayat yang datang. Mamakpun tak pernah menduga hingga kini masih banyak kabar tentang kebaikan Dayu.
Semoga kebaikannya menjadi cermin bagi kita untuk tidak pernah menghitung berapa banyak yang beri, namun juga tidak pernah melupakan sekecil apaun yang kita terima. Terima kasih untukmu, Sobat hatiku.
Setelah mondar-mandir beberapa menit, akhirnya aku mengenali sosok yang kucari. Alhamdulillah, segera kami berhambur ke arah wanita setengah baya melepas rasa haru. Ya Allah, betapa kerinduan ini menyeruak. Mamak, begitulah kami mengakrabkan diri memanggilnya menciumi kami berdua, tak kalah haru.
Akhirnya saat pertemuan yang kami janjikan tiba, setelah mengumpulkan dana yang tak kecil untuk ukuran kami. Alhahamdulillah, janji untuk berkunjung ke Batam akhirnya kami tepati kepada almarhumah Widayuniati, putri mamak yang telah berpulang 7 tahun lalu. Akupun tak menyangka masih bisa menyambung tali silaturahmi dengan orang tua Dayu, begitu aku memanggilnya. Dayu adalah sosok sahabat yang kehadirannya selalu kami nantikan, dan setelah ketiadaannya tetap kami rindukan. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu sahabat.
Kedekatanku kami berawal justru karena ketidaksukaanku kepada etnis tertentu, yang kupikir mengalir di diri Dayu. Aku yang naif hanya menilai dari fisiknya semata. Kami satu kost ketika menimba ilmu di kota pelajar. Ternyata aku salah besar, selain tidak semua orang etnis tersebut tidak baik juga karena Dayu sama sekali bukan etnis yang kubenci.
Lambat laun persahabatan kami makin erat. Kami kerap menyusuri kaki lima Malioboro, mencari obralan di Bering Harjo, atau bahkan naik andong pulang dari Sekatenan. Dan kebanyakan Dayu yang membayar segala pengeluaran jalan-jalan karena memang aku tak mampu. Lagi pula Dayu selalu memaksaku untuk menurutinya. Dayu cukup mampu hanya semuanya tersembunyi di balik sosoknya yang sederhana, akrab dengan siapa saja dan terkenal kedermawanannya.
Aku ingat suatu pagi bapak penjual bubur mengeluh pada Dayu tidak punya cukup modal untuk berjualan keesokan harinya, tanpa ba bi bu Dayu mengangsurkan untuk dipinjamkan kepada si bapak, dengan wajah cerah bapak itu berjanji untuk membayar dengan memberi sarapan bubur tiap hari sampai lunas. Satu dua hari keseokannya memang bapak tersebut tertib, namun di hari ketiga dan selanjutnya seolah dia menghindari kost kami. Kami tahu karena pejual itu selalu lewat rute kami ke kampus, dan Dayu tahu itu namun tidak menagihnya.
Dayupun terkenal setia kawan, bahkan saat dia jatuh sakit. Tak jarang Dayu menemani kawan yang datang ke kost, dan membolos jam kuliahnya sekedar mengajak keliling kota kawan yang dari luar kota padahal ia sendiri sedang sesak napas. Aku sendiri heran dengan sikapnya. Saat kami berdua sama-sama jatuh sakit Dayu memaksa mengantarku ke kampus naik becak, hingga kawan di kampus bertanya sebenarnya siapa yang sakit.
Saat seorang kawan yang membiayai kuliah dengan meloper koran jatuh sakit, Dayu pun memaksa menggantikan tugas yang asing untuk kaum hawa tersebut. Atau suatu ketika membantu seorang kawan unutk membiayai wisudanya. Dan Dayu memang tidak menagih orang yang berhutang kepadanya. Ah Dayu, betapa banyak kebaikan yang tak bisa kuingat satu per satu.
Suatu hari Dayu harus pulang ke Batam, karena dipaksa orang tuanya untuk berobat. Memang Dayu tidak pernah memberitahu orang tuanya tentang semua sakitnya, dia tak pernah mau orang lain ikut sedih memikirkannnya. Terkadang tengah malampun aku dipanggil ke kamarnya hanya untuk menemaninya yang terkena serangan sesak napas tanpa pernah mau untuk kupijat sekedar mengurangi penderitaannya, ataupun usai subuh menggantikan menerima telepon dari orang tuanya, karena Dayu tidak mungkin bicara dengan napas terputus-putus agar tidak ketahuan.
Ah, ternyata kami telah sampai ke kompleks makam. Kami menuju sebuah makam yang terukir nama WIDAYUNIATI, tanpa tersa air mataku meleleh haru. Setelah tidak bersua selama 2 tahun. Kabar terakhir Dayu, sahabatku meninggalkan kami semua. Allah memanggilnya terlebih dahulu dalam senyum. Kebaikannya tercermin dari banyaknya pelayat yang datang. Mamakpun tak pernah menduga hingga kini masih banyak kabar tentang kebaikan Dayu.
Semoga kebaikannya menjadi cermin bagi kita untuk tidak pernah menghitung berapa banyak yang beri, namun juga tidak pernah melupakan sekecil apaun yang kita terima. Terima kasih untukmu, Sobat hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar